PLTU Seharusnya Sudah Tak Ada Dalam RUPTL 2025-2034
JAKARTA- Pengamat Energi Terbarukan, Surya Darma menegaskan bahwa dalam progam untuk mencapai Net Zero Emission (NZE), seharusnya pada 2025 adalah tahun terakhir pembangunan PLTU.
"Di sinilah yang menjadi pertanyaan, kenapa masih ada PLTU dalam program di RUPTL 2025-2034? Mestinya sudah tidak ada," tegas Surya yang merupakan Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) periode 2015-2022, Senin (2/6).
Penegasan Surya tersebut menanggapi apa yang disampaikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Senin (2/6), yang menyatakan sebesar 3,2 gigawatt (GW) dari 6,3 GW Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) akan beroperasi atau memasuki tahap Commercial Operation Date (COD) pada 2025.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementeria ESDM, Jisman P. Hutajulu di Jakarta, Senin mengatakan sebagian besar yang batu bara itu sudah COD pada 2025 atau sekitar 3,2 GW.
Sementara itu, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan, angka 3,2 GW (giga watt) dari 6,3 GW PLTU adalah proyek-proyek PLTU yang sudah ada di RUPTL 2021-2030. PLTU itu dimasukan dalam RUPTL karena proyek itu beroperasi secara komersial pada 2025.
"Sisa 3.1 GW sebagian ada di RUPTL 2021 dan mungkin ada juga beroperasi tambahan baru. Ini belum bisa 100 persen dikonfirmasi," papar Fabby.
Kemungkinan lain terang dia adalah pembangkit yang sudah kontrak tapi tertunda pembangunannya, dan dimundurkan COD setelah 2030.
"Tatapi, kalau ternyata PLTU ini adalah tambahan baru, maka melanggar Perpres 112/2022 yang mengatur tentang percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik,"tegasnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan menambah PLTU dan PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas) merupakan bagian perencanaan system di RUPTL itu. Sedangkan dari kapasitasnya, ada 43 GW pembangkit energi terbarukan dan 0.5 GW PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) yang akan dibangun.
Ramah Lingkungan
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Miguel Angel Esquivias Padilla, mengatakan, pertumbuhan ekonomi bisa menjadi peluang untuk mengadopsi teknologi yang lebih bersih dan ramah lingkungan dengan banyak berinvestasi dalam energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan biomassa sehingga dapat membantu menekan emisi karbon di masa depan.
"Adopsi teknologi energi terbarukan, seperti panel surya dan turbin angin, berperan penting dalam mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang merusak lingkungan. Negara-negara di Asia Selatan telah mulai berinvestasi dalam energi bersih, tetapi masih ada banyak ruang untuk meningkatkan skala penggunaan energi terbarukan," katanya.
Dia mengakui, ada beberapa tantangan meskipun energi terbarukan terbukti efektif mengurangi emisi. Integrasi teknologi ke dalam sistem energi nasional masih memerlukan biaya besar dan dukungan kebijakan yang kuat dari pemerintah.
"Investasi riset dan pengembangan energi terbarukan sangat penting untuk memastikan transisi yang berkelanjutan menuju energi bersih," pungkas Miguel.