Benahi Akar Masalah, Jangan Bisanya Cuma Nangkap Preman

Genvoice.id | 02 Jun 2025

JAKARTA- Direktur Eksekutif Center of Econimic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira mengatakan pemerintah hendaknya memulai penanganan aksi presnisme bukan dari hilir melainkan dari hulu.

"Jangan bisanya cuma nangkapin preman-preman. Satgas antipremanisme harus benahi sisi hulu sebagai akar masalah, perbanyak investasi atau lapangan kerja," tegas Bhima, Minggu (1/6), menanggapi aksi premanis yang sudah sangat meresahkan masyarakat tak terkecuali di sektor invetasi.

Menurut dia, ketersediaan lapangan kerja saat ini sangat sempit. Studi Celios menyebutkan bahwa pekerja yang menerima upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) meningkat tajam dari 63 persen pada 2021 menjadi 84 persen pada 2024.

Sementara itu, industri transportasi, pertambangan, dan penyediaan akomodasi mencatat persentase tertinggi pekerja overworked dengan rata-rata jam kerja mencapai 48 jam per minggu.

Ojek online pun terpotret bekerja dengan jam kerja lebih panjang. Rata-rata ojol bekerja 54,5 jam per minggu, sementara pekerja lainnya rata-rata 41,5 jam per minggu. "Pilihannya bekerja dengan upah rendah dan jam kerja panjang atau masuk ke ormas yang pendapatannya bisa lebih tinggi dari jaga tempat hiburan dan parkir kendaraan," kata Bhima.

 

Preman berdasi

Pakar kebijakan publik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Slamet Rosyadi mengatakan penanganan berbagai aksi premanisme harus melibatkan semua pihak, karena tidak bisa hanya dilakukan pemerintah.

Sebab, salah satu kontributor ekonomi berbiaya tinggi di Indonesia adalah aksi premanisme baik yang dilakukan oleh preman jalanan melalui ormas maupun preman berdasi atau kantoran yang dilakukan oleh oknum birokrat dan penegak hukum.

Masih maraknya aksi premanisme tersebut karena dalam penangannya selama ini hanya di hilir dengan menangkap para pelaku. Sedangkan, pemicunya di hulu yaitu kurangnya lapangan kerja belum ditangani serius.

Dalam keterangannya di Purwokerto, Banyumas, akhir pekan lalu, Selamet mengatakan akar permasalahan premanisme terutama pada masalah pemberdayaan dan ekonomi, sehingga harus mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Salah satu penyebab orang terlibat aksi premanisme jelasnya adalah faktor kemiskinan akibat minimnya akses untuk memperoleh lapangan pekerjaan.

"Ketika minim, kemudian pilihannya sedikit, ada peluang di sektor informal meskipun melakukan aksi premanisme, itu yang akan mendapatkan sambutan karena tidak butuh persyaratan formal, tinggal mau atau tidak mau untuk terlibat," jelasnya seperti dikutip dari Antara.

Dia menilai permasalahan tersebut harus diatasi dengan kebijakan ekonomi seperti pemerintah perlu membuat kebijakan yang membuka kesempatan kerja yang luas bagi masyarakat termasuk akses pendidikan dan kesehatan.

"Intinya pemerintah memberikan perhatian kepada masyarakat," katanya.

Selain itu menurut Slamet, perlu dilakukan kolaborasi dengan masyarakat sipil karena pemerintah tidak bisa hanya melulu melakukan penegakan hukum dalam menangani premanisme.

Penegakan hukum memang penting karena negara melalui instrumen aparat penegak hukum seperti kepolisian memiliki peran vital untuk memberantas premanisme. "Itu tidak akan efektif kalau tidak didukung dengan bagaimana penguatan organisasi kemasyarakatan, organisasi masyarakat sipil. Ormas-ormas keagamaan, ormas-ormas pemuda, ini juga harus terlibat untuk ikut memikirkan, mencari cara bagaimana solusi terbaik mengatasi persoalan premanisme ini," katanya.

Berkaitan dengan Operasi Aman 2025 yang digelar Kepolisian untuk memerangi premanisme, dia mengatakan operasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu penting karena Indonesia mempunyai undang-undang dan alat untuk menegakkan undang-undang.

Karena operasi tersebut merupakan bentuk kehadiran pemerintah dari sisi hukum untuk menindak kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminalitas.

"Ini penting, ya tapi tadi, tidak cukup hanya operasi yang dilakukan oleh kepolisian, tetapi perlu sinergi dengan program-program lain seperti ekonomi, penguatan masyarakat sipil, sosial, bagaimana akses terhadap pendidikan yang semakin luas, termasuk akses di bidang kesehatan," katanya.

Dengan demikian, masyarakat tidak akan menjadikan premanisme sebagai lapangan pekerjaan atau tidak turut berpartisipasi dalam aksi premanisme.

Operasi terhadap premanisme tetap dibutuhkan tetapi harus dibarengi dengan pembinaan-pembinaan bagi seluruh anggota ormas. "Perlu pembinaan juga bagi mereka yang terlibat di ormas itu seperti bagaimana mereka memiliki keterampilan, kemudian mereka dengan keterampilannya bisa dikomersialkan, sehingga mereka bisa berwirausaha," kata Slamet.