Tekan Kemiskinan dengan Membangun Koridor Industrialisasi Berbasis Desa
JAKARTA - Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko mengatakan Indonesia perlu strategi khusus agar keluar dari jebakan "hampir miskin" dengan menciptakan jalur mobilitas ekonomi yang konkret.
"Salah satunya adalah dengan membangun koridor industrialisasi berbasis desa dan sektor pangan, seperti yang diterapkan negara-negara ASEAN lain," kata Aditya, Kamis (1/5) yang diminta berpendapat soal tudingan Bank Dunia bahwa 60,3 persen penduduk Indonesia masih miskin..
Ia menyebut hilirisasi pertanian dan perikanan berbasis koperasi produktif bisa menjadi tulang punggung ekonomi baru yang mengangkat masyarakat miskin menjadi pelaku ekonomi riil.
"Bukan hanya soal membuka lapangan kerja, tapi bagaimana masyarakat desa punya kesempatan berproduksi dalam sistem yang jelas, mulai dari pasokan bahan baku, standar kualitas, hingga jaminan akses pasar. Tanpa itu, mustahil orang bisa naik kelas. Dan kita bicara soal naik kelas yang struktural, bukan sekadar statistik turun karena konsumsi naik," katanya.
Ia pun memandang perlu negara hadir menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi swasta yang inklusif. Penerapan skema shared value antara swasta dan komunitas lokal yang tidak hanya menguntungkan dari sisi bisnis, tapi juga meningkatkan kapasitas ekonomi masyarakat akar rumput.
"Pemerintah sebaiknya mulai mengubah orientasi dari sekadar melindungi masyarakat lewat bansos, menjadi fasilitator transformasi lewat ekosistem produksi lokal. Ini bisa dalam bentuk insentif fiskal bagi industri yang menyerap hasil tani lokal, atau insentif pajak bagi koperasi produktif," katanya.
Terkait perbedaan standar miskin, Aditya meminta pemerintah menerima data Bank Dunia yang menyebut 60,3 persen penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sebab, realitanya data tersebut lebih akurat dibanding dengan model perhitungan yang selama ini digunakan Pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS).
Ia menilai bahwa perdebatan seputar data kemiskinan terbaru Bank Dunia yang mengacu pada standar global, menunjukkan perlunya arah baru dalam kebijakan nasional sebagai solusi permanen untuk keluar dari jebakan kemiskinan struktural. Solusi tersebut harus bertumpu pada transformasi ekonomi berbasis produktivitas dan daya saing lokal, bukan sekadar perluasan bantuan sosial.
"Kalau kita lihat data Bank Dunia, batas kemiskinan ekstrem itu 2,15 dollar AS per kapita per hari dan kemiskinan moderat di kisaran 3,65 hingga 6,85 dolar. Maka wajar kalau Bank Dunia melihat sebagian besar masyarakat Indonesia masih rentan miskin, karena penghasilan riil mereka sangat tipis dibanding batas itu. Masalahnya bukan hanya soal angka, tapi soal fondasi ekonomi kita yang masih terlalu bergantung pada konsumsi jangka pendek dan sektor informal," katanya.
Jangan Terjebak
Sementara itu, pemerhati kemiskinan Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi mengatakan, sebaiknya jangan terjebak pada pendekatan moneteris semata.
"Hal paling penting adalah pemerintah memahami, bagaimana kondisi aktualnya dan bagaimana mengatasi masalahnya secara sistematis. Bantuan sosial bisa diberikan namun jangan sampai merusak mentalitas penerimanya, harus dipahami bantuan sosial justru menjadi modalitas untuk keluar dari kemiskinan, bukan sebaliknya diperebutkan dan bangga dengan kemiskinan,"tegas Hafidz.
Keberhasilan keluar dari kemiskinan akan ditentukan kemampuan self helping di kalangan komunitas miskin sendiri, seperti pendekatan amartya sen, meskipun negara memberikan dukungan subsidi dan bantuan, selama kapabilitas individu di kalangan keluarga miskin tidak dibentuk, serta tidak adanya pilihan dan kesempatan untuk berkembang maka kemiskinan mustahil terentaskan.
Misalnya program keluarga harapan (PKH) yang menjadi penopang paling bawah bagi keluarga 40 persen keluarga miskin dan juga secara kumulatif mendapat akses bantuan lainnya dari KIP, KIS, bantuan pangan dsb.
Meskpin PKH sudah ada kelompok pendampingnya, namun seberapa mampu pendamping itu mengartikulasikan perubahan mental penerima PKH binaanya dan mengupayakan aksesibilitas menjadi tantangan ke depan. "Hal-hal yang praktis dan strategis itu jauh lebih dibutuhkan ketimbang perdebatan moneterisnya," kata Hafidz.
Harus Jeli
Diminta dalam kesempatan terpisah, Guru Besar Sosiologi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, mengatakan, Pemerintah harus jeli menggunakan anggaran yang terbatas untuk mengatasi kemiskinan dengan menyasar dimensi-dimensi kemiskinan di masyarakat.
"Sasaran yang diatasi bisa difokuskan dalam dimensi-dimensi kemiskinan atau indikator yang dapat menentukan kemiskinan seseorang. Salah satunya kerentanan. Orang miskin mayoritas yang utang dan menjadi penyangga ekonomi atau penopang keluarga, mereka ini akan sulit bangkit karena sebelum mendapat sokongan sudah minus, sehingga anggaran yang terbatas tadi bisa digunakan untuk memberdayakan mereka agar dapat menyicil utangnya," kata Bagong.
Selain itu yang perlu mendapat perhatian adalah mereka yang terisolasi karena susah mendapatkan akses ke pasar dan permodalan. Mereka itu sulit berkembang, sehingga Pemerintah bisa mengupayakan membuka akses modal dan pasar bagi mereka.