Dampak Lanjutan Konflik Iran-Israel Turunkan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
JAKARTA- Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus menjelaskan, mengacu pada simulasi ekonomi Global Trade Analysis Project (GTAP), dampat lanjutan konflik Iran-Israel berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,005 persen.
"Secara angka memang tampak kecil, namun dampak tidak langsung bisa lebih besar jika negara mitra dagang utama seperti Tiongkok dan Jepang ikut terpukul," kata Ahmad dalam diskusi bertajuk "Dampak Perang Iran-Israel terhadap Perekonomian Indonesia", Minggu (29/6).
Menurut dia, Tiongkok dan Jepang diprediksi mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi masing-masin 0,037 persen dan 0,048 persen akibat konflik Iran-Israel.
Imbas lain dari konflik tersebut, katanya, impor Indonesia atas berbagai komoditas, mulai dari hasil pertanian, pangan olahan, logam, tekstil, hingga produk petrokimia dan manufaktur berat diperkirakan bakal mengalami penurunan.
Oleh karenanya, kata Ahmad, Indonesia harus bersiap menghadapi kenyataan ini lantaran konflik kedua negara berpotensi memicu ketidakstabilan ekonomi global terutama di sektor energi, perdagangan hingga fiskal.
Ia mengatakan Iran merupakan salah satu negara dengan cadangan minyak terbesar ketiga di dunia. Apabila pasokan minyak dari negara tersebut terganggu, disusul dengan penutupan jalur perdagangan Selat Hormuz, maka harga minyak global bakal melonjak tajam.
"Negara-negara pengimpor minyak seperti Jepang, bahkan Eropa tentu mengalami kenaikan biaya energi. Kalau kita lihat, ekspor minyak Timur Tengah itu lebih besar ke Tiongkok, India, Eropa, sehingga negara-negara itu tentu terkena dampak lebih dulu ketimbang Indonesia," kata Ahmad.
Langkah Antisipasi
Kenaikan harga input produksi akibat lonjakan harga minyak dan gas pun berpotensi menurunkan daya saing ekspor Indonesia. Dalam situasi seperti itu, Pemerintah Indonesia perlu segera mengambil langkah-langkah antisipatif jangka pendek.
Prioritas utama adalah menjaga stabilitas harga BBM dan elpiji (LPG) di dalam negeri. Mekanisme subsidi perlu diperkuat agar daya beli masyarakat tetap terjaga dan inflasi tidak melonjak tajam.
"Kemudian kita juga bisa melakukan diversifikasi sumber impor energi. Jadi, kita mengalihkan impor minyak dari negara-negara yang konflik ke yang non-konflik. Oleh karena itu, perlu ada percepatan dalam hal kerja sama energi di negara-negara seperti ASEAN, Australia, atau yang lainnya. Jadi, mungkin ada kerja sama bilateral secara khusus dalam hal perdagangan energi," katanya.
Strategi lainnya adalah memperluas dan mendiversifikasi rantai pasok industri. Sebab, dunia usaha perlu didorong untuk mencari mitra baru dalam penyediaan bahan baku agar tidak terlalu bergantung pada satu wilayah.
Kemudian, mendorong investasi dari sisi industri hulunya, misalnya pupuk, bahan bakar alternatif, serta barang antara atau barang intermediate sebagai bahan baku untuk industri-industri pengolahan di Indonesia.
Dia mengimbau pemerintah juga harus melakukan pemetaan terhadap sektor-sektor yang paling terdampak, terutama manufaktur dan pertanian, sehingga kebijakan perlindungan dan stimulus bisa diarahkan secara tepat sasaran. Mitigasi penting agar Indonesia tidak terseret lebih dalam ke dalam ketidakpastian global.