Belanja Pemerintah Gede Tapi Nggak Berasa di Masyarakat, Ini Biang Keroknya!
JAKARTA, GENVOICE.ID - Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ngegas soal kenapa belanja pemerintah banyak terserap, tapi dampaknya di lapangan kayak nggak kelihatan.
Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh bilang, nggak adanya dampak nyata dari penyerapan anggaran itu karena perencanaan yang kurang matang.
"Tantangan penyelenggaraan pembangunan nasional tidaklah mudah. Untuk itu, diperlukan tata kelola yang mumpuni dalam pencegahan kebocoran keuangan negara," kata Yusuf Ateh.
Yusuf Ateh minta semua Kementerian dan Lembaga yang pegang anggaran buat lebih hati-hati, jangan asal serap dana tetapi juga harus direncanain dengan baik, dari manajemen risikonya dan keputusan berbasis data.
BPKP juga turun langsung buat ngecek kondisi real di lapangan. Ini biar anggaran yang dipake beneran punya dampak ke masyarakat. Selain itu, mereka juga kerja bareng Kejaksaan, KPK, dan PPATK buat buru-buru nutup celah kebocoran duit negara.
"Mari kita tingkatkan sinergi dan kolaborasi agar upaya pencegahan kebocoran keuangan negara berjalan lebih optimal," katanya.
Menteri PPN/Bappenas, Rachmat Pambudy pernah bilang kalau keuangan negara bocor di semua sektor. Nggak tanggung-tanggung, kebocoran APBN udah lebih dari 30 persen selama tiga dekade. Sumber utama dari kebocoran APBN adalah korupsi yang melibatkan pengusaha, birokrasi, legislatif, hingga penegak hukum.
Potensi kerugian negara juga berasal dari penambangan ilegal yang diperkirakan mencapai 105 triliun rupiah per tahun dan judi online juga merugikan perekonomian hingga 900 triliun rupiah pada 2024.
Sementara, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti bilang kalau aturan soal penyerapan anggaran harus dirombak.
"Jangan hanya asal anggaran terserap, tetapi anggaran yang terserap harus dikaitkan dengan key performance indikator-nya dan dampak nyata ke masyarakat,"tegasnya.
Anggaran yang diserap harus diukur efeknya, misalnya berapa lapangan kerja yang tercipta, investasi yang masuk, atau ekspor yang meningkat. Jangan cuma sibuk ngabisin anggaran pas akhir tahun tanpa hasil yang nyata. Selama ini, penyerapan anggaran baru dikebut menjelang akhir tahun, sehingga manfaatnya kurang.
Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko berharap reformasi tata kelola keuangan negara harus lebih progresif dan berorientasi pada efektivitas serta akuntabilitas belanja negara.
"Sudah lama masalahnya kan data. Tata kelola kalau basisnya bukan data yang akurat jadi susah menilainya. Orientasinya harus ke teknologi data dan kecerdasan buatan (AI)," kata Aditya.
Mengenai kebocoran anggaran di atas 30 persen selama lebih dari tiga dekade menandakan ada masalah sistemik yang harus segera dibenahi. "Pengawasan perlu diperkuat dengan teknologi, audit berbasis real-time, serta mekanisme pertanggungjawaban yang lebih ketat, bukan sekadar laporan tahunan yang bersifat normatif," tambahnya.
Selain itu, sinergi Pemerintah dengan lembaga penegak hukum dan masyarakat sangat penting untuk pengawasan keuangan negara dengan baseline peningkatan penggunaan teknologi terkini.
"Tanpa pengawasan yang melibatkan partisipasi publik dan pemanfaatan teknologi dalam pengendalian anggaran, upaya pencegahan kebocoran keuangan negara hanya akan menjadi wacana tanpa hasil yang nyata," pungkasnya.
Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi mengatakan satu rupiah uang negara harus dipertanggungjawabkan dan dikelola secara transparan. Uang rakyat yang dikelola dan dibelanjakan Pemerintah harus berdampak pada masyarakat.